Ekowisata terhalang sampah, Mungkinkah?

Halo sobat hijau, tahukah kamu? Sebelum menjadi Negara Indonesia hari ini, gugusan kepulauan Nusantara sejak beberapa abad lalu telah menjadi gerbang, tempat persinggahan belahan dunia barat dan belahan dunia timur. Selain memang karena posisi wilayahnya yang strategis, gugusan kepulauan Nusantara ini juga memiliki daya Tarik khas tentang keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya. Apalagi gugusan nusantara disebelah bagian timur, yang kini lebih dikenal Indonesia bagian timur. Berjuta – juta ton ragam harta rempah-rempah sudah menjadi komoditas utama yang menarik dunia.

Kala gugusan kepulauan Nusantara berevolusi salah satunya menjadi Negara Indonesia, seorang pujangga tahun 1900-an menggambarkan betapa tetap kaya pesona alam Indonesia ini. Ada yang masih ingat penggalan bait syair legendaris rayuan pulau kelapa? “Melambai-lambai, Nyiur di pantai, Berbisik-bisik..Raja Kelana, Memuja pulau, Nan indah permai, Tanah Airku, Indonesia..”

Ya benar, syair legendaris ini menjadi bukti bahwa sejak tahun 1940-an hingga hari ini, Indonesia masih memiliki pesona daya tariknya tersendiri dalam hal flora-fauna dan keindahan alamnya. Bahkan, sebakda pandemi covid-19, Indonesia berhasil ‘naik kelas’ dan masih menjadi salah satu pilihan utama destinasi wisata dunia, terlihat dari kenaikan peringkatnya dalam indeks keparawisataan global yang sebelumnya peringkat 44 menjadi ke-32. Tentu selain termasuk kedalam 32 destinasi terbaik dunia, pastinya pariwisata Indonesia menjadi 10 besar terbaik di kawasan Asia Pasifik, dengan menempati peringkat ke-8.[1]

Dengan adanya kesempatan emas ini, Menteri PAREKRAF Sandiaga Uno berambisi menjadikan Indonesia episentrum Ekowisata Dunia.[2] Bahkan tidak hanya tentang itu, namun juga peran ekowisata Indonesia yang di gadang – gadang mampu turut telibat aktif mengatasi isu perubahan iklim yang kini sedang menjadi perhatian umat sedunia.[3]

Namun sobat hijau, sejatinya perlu sobat hijau ketahui bahwa peluang ekowisata dunia, seketika akan menjadi aib memalukan bagi Indonesia, kala seluruh stakeholder episentrum ekowisata Indonesia, dalam hal ini, komunitas masyarakat, pemerintah, swasta, media dan akademisi masih belum mampu bersinergi mengatasi masalah sampah dari hulu hingga ke hilirnya secara total.

Bayangkan saja misalnya sobat hijau sedang berwisata ceria dengan keluarga atau teman-temannya dari luar negeri di salah satu destinasi ekowisata mangrove di daerah pesisir utara pulau jawa, namun ketika mengunjungi lokasi ekowisata tersebut, agenda wisata kalian justru terganggu oleh pemandangan sedimentasi sampah plastik yang melapisi layer satu permukaan air di lokasi mangrove tersebut. Seperti pada reportase cuplikan berikut ini. Ironis bukan?[4]

Bisa dipastikan, masalah dasar pola perilaku individu atas sampah seperti ini akan menjadi bahan hujatan netizen sedunia. Apalagi kalau ternyata ekowisata Indonesia hanya sebatas ambisi yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian oktum kontraktor untuk mengerjakan proyeknya, mengeruk keuntungan semata tanpa mempertimbangkan planet (alam), people (manusia) dan prosperity (kesejahteraan) yang menjadi kunci rumus ekowisata, sehingga bisa dikatakan pengelolaan ekowisata menjadi tidak totalitas dan menyeluruh seluruh aspeknya.

Oiya sobat hijau, contoh diatas itu baru menyinggung limbah anorganik yang notabene sampah plastik saja, bagaimana dengan limbah – limbah anorganik lainnya, atau limbah organik yang ternyata jumlahnya di Indonesia masih jauh lebih besar ketimbang limbah anorganik sampah plastik?

Lets Chek this out.. !

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian LHK. Di tahun 2021, jumlah akumulasi timbulan sampah masyarakat Indonesia sebesar 30 Juta Ton, dengan komposisi sampah terkelola 19,6 Juta Ton (sekitar 65%) dan sampah tidak terkelola 10,6 Juta Ton (sekitar 35%). Adapun insiatif giat ikhtiar pengurangan sampah baru mencapai 4 Juta Ton (sekitar 15%) dan masalah sampah yang benar – benar tertangani, artinya terdapat fasilitas infrastruktur yang memungkinkan masalah sampah dapat ditangani dengan baik berjumlah 14,9 Juta Ton (sekitar 49%). OMG! We should fight this case together!

Yang lebih menariknya lagi adalah sobat hijau perlu tahu bahwa dari total 30 Juta Ton sampah tersebut, 40% di produksi oleh rumah tangga! Wkwk! Sampah – sampah :D

Diikuti 18% nya oleh pusat perniagaan, 17% pasar tradisional, 8% perkantoran, 6% fasilitas publik, 6% Kawasan dan 3% sisanya.

So, kira – kira menurut sobat hijau, terobosan apa nih yang bisa kita lakukan bersama buat isu sampah ini, mengingat lumayan sudah ada 15% inisiatif pengurangan sampah dan sudah ada 49% fasilitas penanganan sampah.

Gaya hidup hijau untuk mengatasi sampah Rumah tangga sepertinya menarik..



[1] https://kumparan.com/kumparantravel/indonesia-naik-12-peringkat-dalam-indeks-pariwisata-global-terbaik-ke-32-dunia-1yB7jKdx39S/2

[2] https://travel.detik.com/travel-news/d-5690372/impian-sandiaga-indonesia-jadi-pusat-ekowisata-dunia

[3] https://travel.detik.com/travel-news/d-6168410/upaya-kemenparekraf-ikut-atasi-isu-iklim-melalui-ekowisata

[4] https://www.instagram.com/tv/CVEeIxEhncC/?utm_source=ig_web_copy_link


Komentar

Postingan populer dari blog ini

_Prophetic Leadership: Ulasan Singkat Ibrahim Alayhisholatuwassalam._

Kekhawatiran Efektifitas Amnesti Pajak

Dampak pembangunan Light Rail Transit (LRT) bagi Perekonomian