Dampak pembangunan Light Rail Transit (LRT) bagi Perekonomian

Dalam kajian perekonomian, Barang public termasuk kedalam kategori pembahasan yang analisisa serta pengambilan keputusannya terbilang cukup rumit. Karena barang publik merupakan sebuah barang yang memiliki sifat non-rival dan non-eksklusif. non-rival artinya bahwa konsumsi yang dilakukan atas barang tersebut oleh suatu individu tidak akan mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh individu lainnya; dan noneksklusif berarti semua orang berhak menikmati manfaat dari barang tersebut tanpa terkecuali.[1] Sebagai contoh: jembatan adalah barang publik, banyaknya pengguna jembatan tidak akan mengurangi manfaat dari jembatan tersebut; semua orang dapat menikmati manfaat dari jembatan tersebut (noneksklusif); dan jemabtan itu dapat digunakan pada waktu bersamaan kapan pun.


Istilah barang publik sering digunakan untuk merujuk pada barang yang non-eksklusif dan barang non-rival. Ini berarti bahwa tidak mungkin mencegah seseorang untuk tidak mengonsumsi barang publik. Udara dapat dimasukkan sebagai barang publik karena secara umum tidak mungkin mencegah seseorang untuk menghirupnya. Barang-barang yang demikian itu sering disebut sebagai barang publik murni. Contoh diatas adalah duduk perkara barang publik yang umum sifatnya.
Namun ada juga barang publik yang duduk perkaranya bersifat eksklusif untuk dibahas, apalagi kalau sudah bawa – bawa kabinet, sensitif sekali pembahasan barang publik ini, karena melibatkan keputusan pengesahan anggaran yang jumlahnya tidak sedikit. Jangankan APBN atau Anggaran keuangan Negara, perihal uang kuliah di kampus saja yang katanya miniatur sebuah negara sudah sebegitu hebohnya, bukan begitu?

Sekilas Light Rail Transit (LRT)

Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Perpres Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan LRT dan Perpres Nomor 116 Tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan kereta api ringan di Sumatera Selatan, merencanakan bahwa dengan adanya proyek pembangunan LRT ini diharapkan kedepannya dapat mengatasi persoalan kemacetan dan akses jalan yang terbatas akibat banyaknya jumlah kendaraan pribadi, baik di jabodetabek secara khusus maupun di daerah – daerah lain secara umum. Adanya proyek ini merupakan salah satu duduk perkara barang publik yang eksklusif  dan bisa dibilang cukup alot pengambilan keputusannya, pasalnya jumlah APBN Pemerintah yang dialokasikan terbilang cukup besar hingga 12 Triliun untuk Rute di Jakarta dan 8 Triliun untuk rute di Sumatera Selatan.

Namun dengan jumlah APBN pemerintah yang sebegitu besarnya, kira – kira dampak seperti apa yang akan dihasilkan dari adanya proyek ini? Tentu pasti pemerintah sudah mengkalkulasikan ekspektasi yang baik kedepannya.

Proyek yang dimulai Oktober 2015[2] lalu ini merupakan salah satu bagian dari cara pemerintah untuk mengatasi persoalan transportasi publik. Khususnya di Jakarta LRT ini nantinya akan terintgerasi dengan MRT, KRL, TransJakarta , Jakarta Outer Ring Road (JORR) hingga Kereta Bandara. Dengan interkoneksi LRT dan Kereta Bandara, waktu tempuh Bogor-Bandara Soekarno Hatta yang tadinya bisa 3 jam, dapat dipangkas menjadi hanya 1 jam[3]. Dengan prediksi tarif tiket yang di bandroll 37.500 lalu dikurangi subsidi yang bisa sampai 10.000 – 15.000 per sekali jalannya.
Selama periode konstruksi, proyek LRT secara keseluruhan diharapkan dapat menyerap sekitar 48.000 pekerja, dengannya akan dapat menstimulus aktivitas ekonomi dalam jangka pendek, hal ini tidak perlu dikhawatirkan, sebab masih ada sekitar kurang lebih 7 juta pengangguran terbuka di Indonesia. Namun tentu secara jangka panjang dampak positif itu akan terlihat ketika proses pembangunan LRT ini selesai.

Kemacetan pada pertumbuhaan ekonomi

Persoalan transportasi publik yang terjadi kemacetan akan selalu menjadi penghambat pada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan survei yang dibuat oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta, kemacetan di Jakarta membuat ongkos transportasi membengkak hingga 2,9%. Selain biaya transportasi yang naik, hal ini juga mengakibatkan naiknya ongkos produksi perusahaan, sehingga profit marjin yang diperoleh menurun.

Dampak lainnya ialah penurunan produktivitas para pekerja. Sebab, para pekerja sudah lelah dalam perjalanan menuju tempat bekerja, setelah menembus kemacetan untuk tiba di tempat kerja. Akibatnya Menurut perhitungan BI, produk daerah regional bruto (PDRB) DKI Jakarta menurun 0,16%.

Berbeda dengan hasil penelitian Media Investor Daily, bahwa kerugian kemacetan Jakarta adalah sekitar 46 triliun per tahun berdasarkan perhitungan Dishub DKI Jakarta. Kerugian sebesar itu tentu tidak main-main. Angka ini setara dengan 3,1% APBN 2013 dan 92% terhadap APBD DKI Jakarta itu sendiri.

Selain itu, ada juga persoalan pemborosan bahan bakar akibat kemacetan yang terjadi, bahan bakar yang di subsidi oleh pemerintah akan semakin cepat untuk habis kemudian di isi ulang, dalam penelitian lain oleh Yayasan pelangi menaksir bahwa kerugian dari bahan bakar dan waktu macet kira – kira sampai 12,8 triliun setiap tahunnya. Apalagi di tambah subsidi, sehingga harga cenderung terlihat lebih murah, tentu semakin mendorong konsumsi bahan bakan subsidi tersebut.

Biaya sosial yang ditimbulkan akibat kemacetan ini juga tidak sedikit, salah satunya adalah biaya sosial akibat adanya polusi yang diproduksi oleh kendaraan bermotor. Sehingga dalam jangka panjang kemacetan di Indonesia ini juga ikut berkontribusi pada melelehnya es di kutub sana, tentu ini bukanlah biaya yang murah.

LRT to Transit Oriented Development (TOD)

Begitu banyaknya biaya kerugian akibat masalah transportasi ini rasanya lebih baik untuk segera diselesaikan. Sehingga adanya LRT dapat memberikan banyak keuntungan. Selain manfaat mengurangi kemacetan, LRT rupanya juga memiliki sejumlah manfaat untuk pembangunan kedepannya. Dalam hal pemukiman, LRT dapat  menstimulus munculnya kawasan pemukiman dengan konsep transit oriented development (TOD). Yaitu pemukiman yang dikembangkan dengan mengacu pada jejaring atau sistem transportasi sebagai solusi persoalan aktivitas masyarakat.

Adanya konsep seperti ini sangat memungkinkan untuk mengurai keramaian penggunaan kendaraan pribadi. Karena masyarakat akan dengan sendirinya beraktivitas pada satu area yang sama dengan trasnportasi masalnya.

Hal ini tentu akan megurangi pula jumlah polusi yang di produksi oleh kendaraan bermotor, juga akan lebih menghemat pengeluaran subsidi oleh pemerintah, serta pengalokasian subsidi pada pengurangan harga tiket LRT pun akan menjadi lebih efektif.

Selain itu akses falisitas pelayanan publik seperti rumah sakit, pasar dan yang lainnya akan lebih terintegrasi dan mampu menstimulus perekonomian yang ada. Produktivitas pun akan meningkat seiring dengan waktu tempuh menuju tempat kerja yang semakin singkat.  

Hal positif dari adanya pembangunan LRT ini berhasil pula menarik perhatian beberapa kepala daerah untuk membagun LRT di wilayahnya. Karena memberikan dampak positif yang memang akan terjadi dalam jangka panjang juga bersifat massal.






[1]  For casurradsent definitions of public goods see any mainstream microeconomics textbook, eg.: Hal R. Varian, Micradsoeconomic Analysis ISBN 0-393-95735-7; Mas-Colell, Whinston & Green, Microeconaomic Theory ISBN 0-19-507340-1; or Gravelle & Rees, Microeconomics ISBN 0-582-40487-8
[2] detik.finance.com
[3] https://www.kaskus.co.id/thread/586f491912e257d27e8b456c/infografis-begini-dampak-lrt-memajukan-pembangunan-jabodetabek/1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

_Prophetic Leadership: Ulasan Singkat Ibrahim Alayhisholatuwassalam._

Kekhawatiran Efektifitas Amnesti Pajak