Betapa beruntungnya mereka yang memahami Niat


Kapan terakhir kali hidup kita terasa “burn-out”? kemarin? seminggu yang lalu? sebulan yang lalu? atau kapan? its okay, semua manusia pasti merasakannya, dan soal waktu ini sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas. Yang paling penting adalah tentang kita menyadari bahwa “burn-out” ini adalah pertanda bagi kita, bahwa “jalan yang sedang kita tempuh” sekarang bisa jadi sudah mencapai akhirnya atau titik jenuhnya. Waktunya kita menemukan “jalan baru”, aha! improvement.

Kalau kita coba sedikit memahami karakter dasar manusia dari perspektif para filsuf ekonomi, hal ini menarik sekali, mengingat kalo berbicara ekonomi, maka paling tidak, secara sederhana manusia ini akan dipandang sebagai sumber daya, entitas atau apapun itu (bahkan seringkali dianggap juga sebagai komoditas) yang mengandung nilai (value or nominal) sehingga dapat mengatasi masalah dasar ekonomi, yakni kelangkaan (scarcity).

Adapun kelangkaan (scarcity) itu sendiri tidak hanya membahas soal sumber daya yang terbatas, tetapi juta tujuan dari adanya pemenuhan atas kelangkaan yang terjadi. Artinya tentu dibalik kelangkaan itu sendiri ada motif lain atau tujuan lain, karena memang selalu seperti itu. Termasuk dalam keseharian kita sebagai manusia ini, motif pasti selalu ada mengiringi perbuatan. Begitu kata salah satu filsuf terkemuka asal Prancis, Jacques Derrida yg menyatakan bahwa pernyataan maaf yg tulus “forgive the unforgiveable” adalah sesuatu yg mustahil, bukan karena ia adalah sebuah kegilaan, melainkan karena sebab permaafan yang murni itu memang hal yang tak mungkin.

Kalo di kira – kira, tujuan utama dari adanya kelangkaan apabila secara dilihat sederhana adalah sebagai penanda juga, bahwa apa yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar paling tidak seharusnya dapat pula terpenuhi. tapi nyatanya? tidak. itulah mengapa kelangkaan terjadi.

Maka disinilah pentingnya memahami motif atau tujuan lain yang ada dibalik suatu urusan tertentu. Hal ini seharusnya menjadi kebutuhan dasar logika manusia befikir, karena dengan memahami hal ini, paling tidak kita bisa menilai sesuatu dengan objektif dan lebih bijaksana. Contoh dalam memahami motif atau tujuan lain ini sesederhana memahami suatu sebab-akibat yang terjadi. Adapun untuk memahmi proses suatu sebab hingga menjadi sebuah akibat ini ada ilmunya sendiri. Semua rumpun ilmu memiliki metodologinya sendiri-sendiri, ada yang relatif sama metodenya ada juga yang berbeda sama sekali.

Namun pada tulisan ini bukan tentang metodologi yang akan di ulas, melainkan tentang peran motif atau tujuan lain sebagai intrumen yang mampu memperkaya Niat-niat baik yang dilakukan agar berbuah lebih banyak lagi kebaikan.

Bagaimana caranya, agar motif atau tujuan lain dapat memperkaya Niat kita?

Pertama, kalo masih ingat atau mungkin barangkali pernah (entah kapan) membuka kitab-kitab hadis yang terkenal para imam pengarangnya, seperti, Bukhori, Muslim atau Riyadusholihin karya Imam an Nawawi.  Riwayat hadis pembuka dalam kitab-kitab itu adalah tentang niat, sebuah kata “usang” jika dilihat dari dimensi waktu, mengapa tidak? 14 abad yang lalu.

Bunyinya: “sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya..”.

Meski usang, tapi untaian matan (isi hadis) ini sangatlah relevan maknanya, tanpa terhalang oleh dimensi waktu maupun ruang di dunia. Niat (motif) inilah yang menjadi sebab kebanyakan mahluk yang dikaruniai akal sehat akan bergerak dan membuat suatu dampak atau akibat dari sebuah sebab. terlepas ia berniat baik maupun sebaliknya yang jelas inilah yang menjadikan dunia seperti hari ini. Penuh Warna.

Kedua, dalam 10 prinsip-prinsip ekonomi yang di gagas oleh Mankiw. Empat dari sepuluh prinsip ini pembahasannya adalah mengenai niat Manusia, yakni tentang “how people make decision”. dimana:
1. Manusia akan menghadapi dua pilihan pasti (trade off)
2. Beban/biaya dari sebuah sesuatu adalah apa yang di usahakan untuk mendapatkannya
3. Manusia yang rasional maka ia akan berpijak pada selisih (margin)
4. Manusia akan merespon pada insentif

(boleh secara sederhana dikata sederhananya bahwa keempat prinsip ini menjadi dasar berfikir agar tidak merugi ala ekonom)

Sadar tidak sadar, karena manusia akan menghadapi kelangkaan (scarcity) dalam hidupnya, entah apakah itu kelangkaan ruhani, kelangkaan psikologis, kelangkaan sumberdaya, ataupun dimensi kelangkaan lainnya. Maka lagi – lagi niat menjadi penting. Ia mampu mempengaruhi proses kita mengambil keputusan. Memilih keputusan hidup. Termasuk memutuskan perkara menikah sebelum Ramadhan atau sesudah ramadhan. Memilih memaksimalkan ramadhan atau mengabaikannya.


Karena begitulah realita kehidupan kita sebagai manusia hari ini, kurang lebih sebagai zoon policon (istilah untuk manusia sebagai mahluk sosial), maka ia harus bersikap ‘ekonomis’, agar tak salah melangkah, karena keputusan awal yang salah seringnya mengakibatkan akhir yang salah juga ketimbang yang benarnya, dan yang dapat mempengaruhi nya adalah Niat. Niat ini menjadi awalan sekaligus akhiran, awal ketika kita memulai sesuatu, makanya ia ditempatkan diawal dan akhiran karena setelah satu niat tercapai boleh jadi pada ujungnya ia menjadi keliru, maka niat juga perlu hadir di akhir agar ia membantu kita memutuskan perkara dengan benar.

Ketiga, niat ini sendiri sangat seringkali dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi, latar belakang, pendidikan, lingkungan, pekerjaan dan pendapatan, ngaji atau ngga ngaji dsb. Namun, pernahkah terpikirkan oleh kita secara sadar, bahwa semua kondisi itu juga tergantung kepada seberapa sering diri kita merenungi tentang niat-niat kita sekaligus segala proses hidup yang sudah dilalui. Disinilah pangkal niat yang nantinya akan menentukan akhirnya. dibalik niat, ada niat. seperti pepatah “diatas langit, masih ada langit”.

Meskipun akhir dari sebuah niat diawal pada nyatanya yang di dapat rasanya salah, karena tidak sesuai dengan ‘hitung-hitungan’ atau ekspektasi diawal tapi jika niatnya benar, justru ia akan memperkaya kita dengan keuntungan dan keutamaan sabar dalam menanggung resiko. Begitu juga sebaliknya, jika ia sesuai dengan ‘hitung-hitungan’ atau ekspektasi diawal, tentu dengan niat yang benar, ini akan memperkaya kita dengan keuntungan dan keutamaan syukur atas hasil yang dicapai

Disclaimer: urusan kepahaman tentang motif atau tujuan lain, atau niat ini ‘pure’ hanya untuk relfeksi diri, bukan untuk menjudge orang lain.

Keempat, “Demi waktu, Sungguh Manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang² yang beriman dan beramal shaleh, dan mereka yang saling tegur dalam kebajikan dan tegur dalam kesabaran”. (QS Al-Ashr)
Pada dasarnya, manusia itu sudah merugi, dan itu merupakan ulah atau akibat atas pilihan diri mereka sendiri. Apabila kita kembali ke pembicaraan tentang tujuan lain, niat atau motif di awal, sesungguhnya hal ini banyak disepelekan oleh kebanyakan manusia (mungkin saya termasuk di dalamnya), dan inilah pangkal kerugian pertama, yang bisa berlanjut pada kerugian-kerugian lainnya.

Kebanyakan kita mungkin tak mengetahui secara utuh mengapa kita mengambil sebuah keputusan untuk bertindak dan bagaimana dampaknya nanti, iya bukan? Tetapi selayaknya bagi kita manusia-manusia muslim yang mengaku benar-benar mengikuti petunjuk Ultimatenya,  harusnya kita juga yakin bahwa sungguh kita dijamin sangat bisa terhindar dari kerugian apapun, sebagaimana yang Allah sampaikan dalam QS. Al-Asr tadi.
Pemahaman ini sudah utuh tersaji lenkap dalam bentuk “big data” tentang manusia dan masa depannya. Berisi panduan lengkap hidup manusia yang Allah SWT turunkan dalam qalamnya, Al Qur’an.

Maka, Kalaulah kita sebenarnya tahu bahwa hidup kita akan di pertanggungjawabkan dalam bentuk sebuah “tiket” pilihan akhir muara perjalanan hidup ke surga atau neraka, maka kita akan mempersiapkannya dengan baik, termasuk dalam hal niat, motif atau tujuan, tak akan asal ambil keputusan, apalagi jadi salah tingkah.

Contohnya: tak sedikit muslim, banyak orang yang sibuk, berlebihan-lebihan mencari uang, menumpuk harta di hari-hari kerja, dan menghabiskannya di akhir pekan hanya untuk kesenangan “sedetik” saja, padahal bekal untuk akhiratnya itu jauh lebih dibutuhkan (qul mata uddunya qalil, wal akhiratu Li manittaqaw.. QS 4:77).


Sampai disini, kesimpulan sementara yang bisa di ambil adalah, bahwa niat diawal untuk sebuah akhir yang diharapkan, itu akan menemui “burn out” & improvement sebagai bagian dari proses perjalanan.

Adapun keempat hal di atas itulah perihal – perihal yang dapat memperkaya niat baik kita. Itu semua seringkali ikut mempengaruhi proses niat kita diawal sampai niat kita di akhir. Hanya saja memang manusia karakter dasarnya begitu, ngga mau rugi, tapi banyak mengambil jalan menuju kerugian. Karena menyepelekan NIAT dan tentang memahaminya. 

Sudah paham?

~tak usah hawatir akan kemana akhir perjalananmu, khawatirkan lah dimana engkau nanti akan berhenti
(Ibn athailah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

_Prophetic Leadership: Ulasan Singkat Ibrahim Alayhisholatuwassalam._

Kekhawatiran Efektifitas Amnesti Pajak

Dampak pembangunan Light Rail Transit (LRT) bagi Perekonomian