Potensi dan Polemik Dana Haji di Indonesia
Jumlah
warga negara Indonesia yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ibadah haji
setiap tahunnya selalu bertambah, sedangkan kuota yang diberikan oleh
pemerintah arab saudi kepada Indonesia untuk jamaah haji tetap atau tidak
mungkin bertambah seperti bertambahnya jumlah jamaah yang ingin berangkat
melaksanakan ibadah haji dari Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa jumlah
daftar tunggu jamaah haji akan terus meningkat. Adanya peningkatan inilah yang
kemudian menjadi sebab terakumulasinya jumlah dana haji di kementerian agama,
-sekarang di kelola oleh badan pengelola keuangan haji (BPKH) semakin menumpuk.
Adanya
penumpukan dana haji ini dinilai berpotensi untuk dapat digunakan sebagai
investasi atau ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan
ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang
efektif dan efisien, tranparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan perundang
– undangan.
Adapun
saat ini menurut Anggota
Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu per audit 2016
terdapat sekitar Rp 95,2 T dana haji, baik setoran awal, nilai manfaat, dan
dana abadi umat muslim[1]. Jumlah dana ini akan
semakin meningkat seiring dengan menigkatnya jumlah jemaah pendaftar haji dan
semakin lama pula antrian hajinya.
Menurut
Abdul Qoyum[2],
disampaikan bahwa dengan jumlah jemaah yang mendafar di tahun 2017 yang akan
berangkat pada tahun 2037 saja terdapat sekitar Rp 121 T dan itu baru dari 24
Provinsi di Indonesia yang mana jumlah dana calon jemaah haji saja. Akibatnya
mau tidak mau haruslah ada badan khusus yang bekerja mengelola dana ini, tentu
sesuai dengan ketentuan perundang – undangan sehingga diharapkan tidak terjadi
hal – hal yang tidak diinginkan.
Adanya
Undang – Undang Nomor 34 tahun 2014
tentang pengelolaan keuangan haji dalam hal ini bisa dikatakan merupakan sebuah
pencapaian yang baik bagi umat islam, karena UU ini menjadi bukti kongkrit
bahwa pemerintah telah mengakui eksistensi sistem ekonomi islam yang mau tidak
mau harus diakui sebagai suatu opsi mutlak bagi umat islam di Indonesia dimana
sistem ini sangat berpengaruh pada aspek kehidupan bangsa Indonesia, artinya UU
ini tidak hanya mengurus persoalan pengelolaan dana haji saja, tetapi juga
menjelaskan bahwa sistem ekonomi islam memiliki peran yang besar dalam proses
perkembangan perekonomian bangsa ini kedepannya. Sehingga dari sudut pandang
manapun polemik dana haji merupakan sesuatu yang tidak seharusnya perlu
dipermasalahkan, terlebih apabila melihat besarnya nilai manfaat serta
komposisi dari pengelolaannya.
Potensi Investasi Dana Haji
Dalam
konteks ekonomi Syari’ah, setiap dana atau aset yang ada dimasyakarat haruslah
mampu memberikan manfaat bagi kemaslahatan lingkungannya tetapi nilainya tidak
dipengaruhi oleh tingkat inflasi, artinya dalam hal ini dana atau aset sudah
terkelola baik dalam bentuk usaha secara khusus atau investasi secara umum.
Sehingga hal ini sesuai dengan tujuan Maqashid Syari’ah, yaitu hifdzul maal. Kedua,
islampun sangat melarang harta yang tidak terpakai atau tidak termanfaatkan,
karenanya akan menjadi mubadzir dan dikhawatirkan akan menjadi sifat tamak dan
berlebih - lebihan. Ketiga, prinsip pengelolaan keuangan haji tentu juga harus
sesuai dengan prinsip syariah, yakni prinsip kehati – hatian, manfaat, nirlaba,
tranparan dan akuntabel.
Namun
jika melihat kepada kaidah dasar atau prinsip umum dalam investasi, apapun
bentuknya, tentu perlu memperhatikan tingkat risiko dari pada investasi tersebut
dan menghitung dengan pasti berapa potensi yang pasti akan bisa di peroleh
menjadi manfaat. Karena semakin tinggi ekspektasi manfaat yang diharapkan maka
akan semakin tinggi pula risiko yang harus di hadapi, oleh karena itu dana haji
yang nantinya akan di investasikan harus benar – benar memegang prinsip
investasi ekonomi sesuai syariahnya.
Agar dana haji sesuai dengan prinsip
syariahnya, keuangan haji yang syarat dan ketentuannya di atur oleh Undang –
Undang No. 34 tahun 2014[3] dalam pasal 46 dikatakan
bahwa Pertama, pada ayat 1 BPKH wajib mengelola
Keuangan Haji dan pengelolaan ditempatkan pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit
Usaha Syariah. Kedua, pada ayat 2 Keuangan Haji sebagai mana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan. Ketiga, pada ayat 3 dalam
melakukan proses investasinya sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (2) harus
sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati –
hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.
Keempat, pada pasal 48 ayat 1 keterangan proses penempatan atau investasi
Keuangan Haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga,
emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Kelima, pada ayat selanjutnya penempatan
dan/atau investasi Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan,
kehatihatian, nilai manfaat, dan likuiditas. Keenam, dilanjutkan ayat
berikutnya bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dan/atau investasi
Keuangan Haji diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan ini, UU
nomor 34 tahun 2014 secara syarat dan ketentuan pada konteks investasi dana
haji sudah sangat jelas dapat menyesuaikan dengan konteks teori keuangan. Dimana
UU tersebut jelas memberikan ruang yang begitu luas tentang pengelolaan bagaimana
dana haji dan kemana akan diinvestasikan oleh badan terkait. Dapat dalam bentuk
deposito syariah di bank, Surat Berharga (Sukuk Corporate, Sukuk Negara, Emas,
Investasi Langsung dan lain- lain). Dengan batasan prinsip investasi dalam
konteks syariah yakni tidak melanggar syariah, aman, prudent, manfaat dan
Liquid.
Jumlah potensi
dana haji sebesar 95,2 T yang sangat memungkinkan untuk di investasikan ini
tentu akan menjadi tidak mendatangkan manfaat apabila tidak dikelola, oleh
karena itu dibetuklah BPKH yang berkewajiban menysusun portofolio optimal untuk
dana haji tersebut, sehingga baik secara langsung atau tidak langsung manfaat
itu akan kembali pada jama’ah haji baik saat sebelum berangkat maupun saat
beribadah nanti.
Jumlah dana haji
yang cukup besar ini kemudian dikomentari oleh Presiden Jokowi usai pelantikan
Anggota BPKH[4] di
istana kepresidenan (26/7) supaya dana
haji yang tersimpan di pemerintah bisa diinvestasikan untuk pembangunan
infrastruktur. “Bisa saja kan (untuk infrastruktur). Daripada uang ini
diam, ya lebih baik diinvestasikan tetapi pada tempat-tempat yang tidak
memiliki risiko tinggi, aman, tapi memberikan keuntungan yang gede”.
Menggunakan
analisis data riil 2005 hingga 2014 menurut penelitian yang dilakukan oleh
Abdul Qoyum potensi jumlah dana yang besar ini, apabila kemudian hanya ditempatkan
hanya pada investasi emas saja dapat memiliki return yang cukup besar. Dimana
dengan pola pergerakan harga emas di pasar
United Kingdom maupun di Pasar United State of America dari 1 Januari 2005
sampai dengan 23 Desember 2014 bahwa harga emas mengalami kenaikan sebesar 168%.
Dengan pada tanggal 1 Januari 2005, harga emas pertroyounce adalah sebesar US
438,45, sedangkan pada 23 Desember 2014 Harga emas adalah sebesar US 1179,3. Artinya
investasi dana haji pada emas saja apabila melihat dari periode tersebut dapat
memberikan imbal hasil (return) sebesar 168% dimana peningkatan manfaat dari
dana haji ini benar terasa. Adapun dampaknya bagi jemaah haji tentu bisa lebih
dari sekedar ketika masa saat presiden SBY menjabat dimana asrama haji bagi
jemaah dibangun kembali di Saudi sana.
Polemik Dana Haji
Polemik
ini akhirnya muncul terkait dengan pernyataan Presiden Jokowi ketika melantik
anggota BPKH yang baru di istana kepresidenan, dimana dana haji seharusnya
dapat digunakan untuk investasi membangun infrastruktur. Jika melihat acuan
dari Undang – undang yang berlaku hal ini sah – sah saja selama tetap berpegang
teguh pada syarat kententuan yang telah diatur. Namun tentu pasti BPKH selaku
pengelola tidak akan mungkin menyalurkan dana haji seluruhnya pada investasi
infrastruktur. Pun selama ini sudah ada alokasi dana haji yang di investasikan
pada Surat berharga Syariah Negara (SBSN) oleh BPKH, tentu SBSN sendiri
merupakan investasi yang menjadi pembiayaan untuk proyek – proyek pemerintah
salah satunya infrastruktur.
Fakta
beberapa periode sebelumnya ketika bank syariah belum ada di Indonesia, dana
haji sempat di simpan dan dikelola oleh bank konvensional yang mana penyaluran
dari dana tersebut belum pasti diinvestasikan pada sektor yang halal, misal
lembaga ribawi, atau pabrik rokok dsb. bahkan setelah bank syari’ah itu sendiri
berdiri tahun 1992.
Persoalan
lain yang menjadi sorotan menarik tentang dana haji ini adalah edukasi pada
masyarakat yang mendaftar jemaah haji tentang kekhawatiran ketika mendengar pemerintah akan menginvestasikan uang tabungan
haji mereka di sektor yang cukup beresiko, kemudian persoalan profit atau
manfaat yang akan diperoleh apabila investasi dilakukan pada sektor infrastruktur
melalui SBSN, selanjutnya persoalan rentang waktu investasi SBSN yang cukup
memakan waktu, ada juga persoalan tentang kebutuhan prioritas untuk pelayanan
jamaah haji daripada investasi, kemudian bagaiamana apabila investasi yang
dilakukan tidak ada hubungannya dengan jemaah haji itu sendiri dan yang paling
banyak mempertanyakan adalah soal penjelasan akad transaksi antara jemaah haji
dengan Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) itu sendiri.
Langkah Soltutif Dana Haji
Meski sebenarnya
perkara dana haji ini seharusnya tidak menjadi masalah yang begitu substantif
untuk dipersoalkan, namun tidaklah mengapa apabila terdapat masukan – masukan dimana
hal tersebut dapat menjadi solusi alternatif dan memperjelas kembali bagaimana
peran seharusya dari BPKH itu untuk memaksimalkan peningkatan manfaat dana haji
untuk jamaah secara khusus dan umumnya bagi perekonomian Indonesia.
Karena hal ini begitu
terkait erat dengan aktivitas keuangan syariah, maka perlulah segera adanya fatwa
atau putusan khusus dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai perkara ini,
mulai dari akad yang nantinya dilakukan, sektor penyaluran atau penempatan dana
haji, bahkan hingga model opersionalnya. Hal ini penting dilakukan agar polemik
yang ada tidak melebar kepada konflik kepentingan yang menjadikan kepercayaan
antar institusi hilang. Kedua, dalam hal apapun sinergitas merupakan sesuatu
yang perlu, oleh karena itu BPKH kedepannya harus dapat bersinergi dengan stakeholder
ekonomi syariah, praktisi, akademisi, mahasiswa atau bahkan komunitas
aktivisnya seperti MES, IAEI, FoSSEI dan lainnya. Ketiga, bagi internal Anggota
BPKH juga perlu solidaritas serta profesionalisme yang tinggi, tidak bisa
berbicara sendiri – sendiri, karena jumlah dana haji ini cukup begitu besar dan
sangat mungkin untuk mengundang fitnah – fitnah atas kepentingan segelintir
pihak saja. Selanjutnya kembali pada Undang – undang No. 34 tahun 2014 yang
telah mengatur keseluruhan prinsip pengelolaan dana haji agar sesuai dengan
syariah perlu di optimalkan seoptimal – optimalnya agar manfaat secara khusus
bagi jamaah atau umumnya bagi perekonomian Indonesia dapat dirasakan.
Sumber Referensi:
Islamic Online
Discussion bersama Bapak Bapak Abdul Qoyum, S.E.I., M.Sc. Fin, Dosen UIN Sunan
Kalijaga dan Ketua DPP IAEI.
[1] http://nasional.kompas.com/read/2017/07/26/14483461/sesuai-instruksi-jokowi-rp-80-triliun-dana-haji-siap-diinvestasikan
[2] Dosen
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam diskusinya bersama mahasiswa – mahasiswi
penggiat ekonomi islam
[3] https://kemenag.go.id/file/file/Dokumen/viuh1416561153.pdf
[4] http://nasional.kompas.com/read/2017/07/26/12145401/jokowi-ingin-dana-haji-diinvestasikan-untuk-infrastruktur
Komentar
Posting Komentar