Transformasi Kepemimpinan yang "by Design"
Sudah bisa dipastikan bahwa setiap manusia yang lahir ke
dunia ini mereka adalah pemimpin, paling tidak menjadi pemimpin bagi dirinya
sendiri. Tak sedikit pula sumber-sumber literasi memberikan arahan, panduan dan
segala macam hal kriteria supaya para pemimpin – pemimpin bagi dirinya sendiri
dapat menjadi pemimpin ideal yang diterima banyak pihak dengan segudang
idealisme dan mimpi – mimpinya. Berbagai contoh dan tokoh, sudut pandang serta
aliran para pemimpin juga seni gaya kepemimpinannya ditampilkan, supaya
semangat – semangat kebaikan dari idealisme pemimpin masa lalu itu dapat terus
hidup hingga hari ini.
Namun sayangnya ada satu hal mengenai seni kepemimpinan bagi
para generasi muda muslim yang sering berlalu begitu saja,
ditambah tingkat
eksistensinya yang rendah dikhalayak para calon pemimpin – pemimpin masa yang
akan datang, yakni generasi muda sekarang. Apa itu? Seni kepemimpinan macam apa
sehingga banyak generasi muda sekarang tidak mengetahuinya?Kalaulah kita benar mengetahui bahkan mencintai sejarah, setidaknya sejarah diri kita pribadi. Nampaknya “sense of belonging” akan kepemimpinan ini akan terasa lebih dulu, meski kita tidak tahu sebutan yang pas untuk seni kepemimpinan ini.
Dalam pepatah arab dikatakan “kullu marhalatin ar-rijaluha”, di setiap tingkatan (zaman) pastilah ada laki – laki (pahlawan) nya. Bagi para pemuda – pemudi muslim, kisah keteladanan para Nabi dan Rasul seharusnya sudah tidak asing lagi di telinganya, so, seharusnya keteladanan para Nabi dan Rasul ini lebih mendominasi gaya kepemimpinan para pemuda – pemudi saat ini, ketimbang kepemimpinan konvesinal yang kini banyak orang gunakan (bukan berarti tidak baik dan harus ditinggalkan). Mengapa? Karena dengan keteladanan pada suri tauladan yang benar, apalagi di maktub juga kisahnya oleh “guidance” yang menjadi Rahmat bagi seluruh Alam, yakni Al-Qur’an, maka akan memberikan hasil maksimal disertai kebermanfaat yang maksimal pula, serta resiko kepemimpinan premature semakin diminimalisasi.
Untuk mengetahui seperti apa dampak keteladan yang sudah pasti benar itu, hal ini dikisahkan pada “kullu marhalatin ar-rijaluha” versi keluarga besar seorang Nabi yang hingga kini nama dan simbolnya digunakan sebagai symbol agung orang – orang yahudi. Ya betul, keluarga besar Nabi Daud (David) as.
Diriwayatkan dalam tafsir surat al – baqarah ayat 246 hingga 252 mengenai kemunculan Nabi daud, yakni ketika Kaum besar Bani Israil di pimpin oleh seorang Nabi bernama Samuel yang hidup sekitar 11 abad sebelum kelahiran Nabi Isa (Jesus) Al-masih Alayhissalam. Saat itu posisi kaum bani Israil mengalami masa terburuknya, penindasan, ketidakadilan, dan hal buruk lainnya terjadi. Karena sepeninggal Nabi Musa tidak ada sosok pemimpin yang mampu mengatasi persoalan tersebut, tidak hadir sosok pemimpin yang kuat ditambah mental kaum Yahudi saat itu didominasi oleh sikap saling bermusuhan yang sustainable.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya beberapa pemuka, sekelompok elite dari kalangan Yahudi tersebut mendatangi Nabi Samuel dan menuntut “Angkatlah seorang pemimpin (al-Malik) untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Kemudian Nabi Samuel merespon tuntutan sekelompok elite itu dengan nada menyindir: “Jangan – jangan jika diwajibkan atasmu berperang, maka kamu tidak akan berangkat berperang.” Nabi Samuel begitu paham dengan watak Bani Israel, terlebih sekelompok elite politisinya, yang suka melarikan diri dari tanggung-jawab kolektif.
Namun tetap saja, para elite politisi itu bersih keras memaksa Nabi Samuel dan merasa perlu bahwa harus diangkat seorang pemimpin, yang dengannya mereka (elite ini) akan siap untuk berjuang mati - matian karena mereka pun juga telah disuir dari kampung halamannya juga dipisahkan dari anak-istrinya. Tetapi bilalah benar niat dari awal para elite ini ingin berjuang, seharusnya mereka meminta kepada Nabi Samuel untuk memimpin mereka, misalnya: “Wahai Samuel, pimpinlah kami untuk untuk berperang melawan tirani itu bersamamu”, karena jelas tugas seorang Nabi (seperti yang dicontohkan Nabi Musa) ialah melawan dan menupas kedzaliman. Alih – alih berjuang mereka justru meminta ditujuk “pemimpin baru” dengan Bahasa diplomatisnya para elite yahudi tersebut. Permintaan itu sebenarnya telah mendegradasikan tugas seorang Nabi yang selama ini menjadi keyakinan relijius Bani Israel bahwa “pemimpin spiritual” (Nabi) tak bisa dilepaskan dari “pemimpin militer” (komandan perang) sebagai warisan sejarah Musa.
Dengan kondisi seperti itu, atas izin Allah supaya semangat jiwa kepemimpinan yang transcendental (menyeluruh, baca: pemimpin spiritual dan pemimpin perang), akhirnya Nabi Samuel mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut (Saul) sebagai pemimpin kalian.”
Semua orang terperanjat. Nama Thalut benar-benar tak dikenal di kalangan elite Bani Israel. Karena Ia adalah warga kampung yang berasal dari garis keturunan Benyamin, suku minoritas di Israel. Para elite yang serba menuntut itupun protes keras: “Bagaimana Thalut bisa memimpin kami, sedangkan kami lebih berhak (secara tradisi) atas kekuasaan itu, dan dia tidak memiliki kekayaan yang banyak (untuk membiayai kekuasaan yang akan dijalankan).” Jawaban yang sudah diduga Samuel sebelumnya, dan langsung dibantah: “Allah telah memilihnya menjadi pemimpin kalian dan memberikan kelebihan ilmu (strategi perang) dan (kekuatan) fisik”.
Inilah tiga kriteria minimal seorang pemimpin di masa perjuangan melawan penjajahan: ketulusan hati (nir-ambisi), penguasaan strategi, dan keandalan fisik. Kriteria ini mengalahkan syarat lain yang biasanya dimiliki elite status-quo, yakni senioritas dan kelebihan fasilitas.
Selanjutnya diriwayatkan bahwa dalam kepemimpinan Thalut, muncul sesosok Daud yang berhasil mengalahkan Raja Jalut dan kelak menjadi nabi, pengganti Thalut. Dimana pasukan thalut dengan jumlah yang sedikit saat itu berhasil mengalahkan pasukan Jalut begitu banyak berkat izin Allah melalui seorang Daud yang berhasil menghancurkan titik lemah dari pasukan musuh yang berada pada komando Jalut (Qs 2:249).
Karena Daud memiliki segala kriteria yang disandang Thalut, yakni ketulusan motif, kebugaran fisik dan penguasaan strategi. Maka diangkatlah Daud sebagai Nabi, pewaris kepemimpinan yang lebih besar (greater leadership) dengan al-Qur’an menyebutkan tambahan kriteria yang membuat Daud layak sebagai pemimpin: “Kemudian Allah memberinya kerajaan (al-Mulk) dan kearifan (al-Hikmah), serta mengajarinya segala yang Dia kehendaki” (al-Baqarah: 251).
Terakhir bahwa kepemimpinan Nabi Daud, kemudian digenapkan oleh anak nya, Nabi Sulaiman (Solomon) dengan kesempurnaan karakter Nabi Daud yang diwariskan pada Karakter Nabi Sulaiman dengan mencermati keduanya atas dua peristiwa: bayi dan 2 orang ibu serta 2 orang pekebun. Dengan profesionalisme dan produktivitas tinggi juga diiringi dengan pemantapan spiritual akan menimbulkan ketenangan hidup (sakinah), sehingga dapat menghindarkan kita dari berbagai tekanan (stress), gejala kecemasan (anxiety) dan keterasingan (alienation) akibat persaingan dan perebutan posisi.
So, benar sekali bahwa kriteria kepemimpinan harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Memang ada kriteria dasar yang relatif tetap (the essence of leadership), namun tuntutan zaman akan menentukan kriteria mana yang paling menonjol dan seperti apa dosis tepatnya. Jangan sampai pemilihan pemimpin terpenjara dengan penilaian pribadi dan kelompok kecil (groupthink), sehingga melupakan persoalan bangsa dan dinamika global yang harus direspon oleh figur yang handal. Kesalahan kita dalam memilih atau meniru model kepemimpinan akan meledakkan persoalan yang lebih besar, bukan malah menyelesaikannya.
Ketiga Sosok ini, Thalut, Daud dan Sulaiman menjelaskan tipologi kepemimpinan yang khas bertransformasi dari waktu ke waktu. Dengan Thalut adalah tipe pemimpin “pembebas” (mendobrak dan memutus belenggu penjajahan), Daud adalah pemimpin “pemersatu” (mengkonsolidasikan kerajaan dan wilayah yang terpecah-belah), dan Sulaiman tipe pemimpin “pemakmur” (mengembangkan sumberdaya material dan spiritual).
Masing-masing tipe kepemimpinan itu tampil sesuai dengan tantangan zamannya melalui proses suksesi yang damai dan benar. Memberikan hasil maksimal disertai kebermanfaat yang maksimal pula, serta resiko kepemimpinan premature dan dampak buruk yang semakin diminimalisasi.
So, buat para pemuda – pemudi muslim sekalian, bahwa dengan meneladani kepemimpinan para Nabi dan Rasul dampak yang timbul adalah keniscayaan untuk kita menjadi seorang pemimpin yang dapat memaksimalkan kebermanfaat dan tentu nilai ibadahnya juga.
“Kullu marhalatin
ar-rijaluha”
Sumber: Sesi Coaching Leader and Leaderhship bersama Bang
Bactiar Firdaus
Komentar
Posting Komentar