Memoar 2016: Memulai (melanjutkan) Perjalanan Besar
Nampaknya tak perlu untuk kali ini dimulai dengan prolog atau
muqaddimah tentang ada apa dengan memoar 2016, karena kini siapun kita memiliki
cerita dan cara membacanya masing – masing tergantung perspektif mana yang kita
anggap benar dan salah, seolah – olah semua itu adalah suatu realita yang
sangat relative. Apapun yang telah terjadi, sepertinya begitulah skenario
terbaik yang telah direncanakan-Nya, suka tidak suka, duka tidak duka, kini
semua itu menjadi kumpulan kisah hikmah untuk siapun kita kedepannya, menjadi
lembaran – lembaran berharga yang siap untuk menjaga, mengawal dan mengintrospeksi
diri kita juga memberikan gambaran tentang langkah kita menyongsong masa depan.
Tetapi sedikit banyak bagaimana gambaran langkah kita menyongsong masa depan,
semuanya kembali kepada seberapa penting masa depan bagi kita, termasuk
didalamnya gambaran untuk memulai melajutkan kembali perjalanan besar yang
telah dimulai sejak entah kapan kita memulai perjalanan besar itu.
Selalu dalam melakukan setiap perjalanan – perjalanan panjang dan
besar perlu persiapan yang tidak sedikit, adapun semua persiapan itu kita harus
pastikan bahwa memang persiapan itu yang akan kita butuhkan pada saat
perjalanan besar nan panjang nanti telah mulai dijajaki kembali. Salah satu
persiapan paling penting adalah persiapan mental, karena sering kali dalam
setiap perjalanan panjang nan besar muncul banyak cobaan – cobaan yang
berkepanjangan dan besar pula, sehingga kadang persiapan kita diawal tidaklah
cukup untuk sanggup menyelesaikan persoalan cobaan yang satu ini. Diperlukan
kesediaan dan ketetapan tekad serta visi untuk menghadapi realita yang ada
supaya perjalanan besar itu dapat tetap berlanjut menuju visi tujuan yang telah
di tetapkan.
Perjalanan kali ini termasuk perlajanan dengan waktu cukup singkat
untuk sebuah visi sangat besar. Perjalanan ini adalah sebuah proses pembinaan
selama dua puluh dua bulan.
Berupa proses pembinaan bagi remaja yang merupakan
sumber daya manusia strategis dari masing – masing kampusnya, kemudian
dikumpulkan pada sebuah rumah yang mereka menyebutnya dengan sebutan rumah
kepemimpinan. Berharap di sepuluh sampai dua puluh tahun mendatang mereka dapat
menjadi solusi bagi carut marutnya persoalan bangsa yang besar ini.
Suka tidak suka, duka tidak duka semua hal itu benar – benar
terjadi, skenario sedang dimainkan, dan cerita pun dimulai kembali dengan
menghindari takdir Allah yang satu untuk menemui takdir Allah yang lainnya.
Begitu rasanya baru kemarin empat bulan pembinaan itu berlangsung, namun pada
kenyataannya deratan angka selama kurang lebih 120 hari itu telah menjadi
lembaran hikmah yang mau tidak mau sudah lewat begitu jauh dan harus kita
mengambil pelajaran darinya. Disadari penuh bahwa pada dasarnya sekilas empat
bulan itu merupakan proses persiapan untuk perjalanan besar berupa proses
pembinaan mental yang dibentuk melalui kebiasaan – kebiasaan baik, kemudian
perlahan dikristalisasi untuk menjadi karakter murni yang paling baik pula juga
pola fikr serta sudut pandang seperti apa yang telah Rasulullah SAW teladankan
kepada kita semua yang tidak berjalan begitu saja, melainkan selalu ada tantangan
persoalan didalamnya yang harus diselesaikan.
Pun didalamnya tentu saja dengan selesainya satu dua masalah bukan
berarti selesai semuanya, tetapi pasti masalah yang lain akan kembali di
hadapkan kepada kita, dimana tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi (baca:
lebih menantang) seiring dengan meningkatnya pengalaman, kemampuan dan
kapasitas diri kita.
Hal itu karena setiap diri kita dianugrahi keunikannya masing –
masing oleh sang khalik, maka tanggapan dari proses pembinaan atau proses
persiapan untuk melanjutkan perjalanan besar pun berbeda – beda, namun apabila
digeneralisasikan mungkin terbagi kedalam tiga kategori, sebut saja pertama
ekstrim kanan, dimana kategori ini sangat mudah untuk menjalani dan
melaksanakan proses pembinaan sehingga lebih cepat untuk memasuki fase yang
jauh lebih menantang dari pada yang lain, kedua moderat atau pertengahan, tentu
pada kategori kedua ini tidak terlalu sulit atau tidak juga begitu mudah untuk
menjalani dan melaksanakan proses pembinaan, dan ketiga ekstrim kiri, dimana
pada kategori ini tidak sulit sebenarnya untuk menjalani dan melaksanakan
proses pembinaan, tetapi mucul sebuah penolakan dari dalam diri yang kemudian
penolakan itulah sebab dari kesulitan dalam menjalani dan melaksanakan proses
pembinaan yang baru saja dimulai.
Alhasil setelah empat bulan berlalu dan kini telah masuk awal tahun
baru di bulan baru dan hari yang baru pula, tiga kategori tanggapan itu berubah
menjadi suasana yang mengharukan satu sama lain, karena adanya perbedaan disana
telah menjadi rahmat nya Allah untuk para remaja suber daya manusia strategis
ini saling mengenal lebih jauh dan saling mengisi kekosongan satu sama lain.
Persiapan dibalik hikmah
Namun memang sudah takdir Allah di rumah kepemimpinan inilah
ternyata hikmah kami dapatkan, khususnya bagiku yang merasa masuk kedalam
kategori ekstrim kanan di atas barusan, seorang mahasiswa yang kini mulai
menemui masa tuanya di semester genap -artinya berada di tingkat akhir dan
sebentar lagi pasti akan meninggalkan dunia kampus-. Hikmah itu hampir semua
lahir dari ujian – ujian yang menurutku sangat berat, namun tentu tidak jauh
lebih berat di bandingkan dengan ujiannya Rasulullah SAW atau mungkin juga
masih terdapat banyak orang di luar sana yang justru jauh lebih berat ujiannya
daripada ujianku.
Semua ujian untuk persiapan perlajanan besar itu dimulai pada saat
momentum semua “orang – orang terpilih” ini berkumpul untuk mengikuti NLC
(National Leadership Camp) yang merupakan rangkaian awal dari seluruh pembinaan
yang beberapa waktu kemudian kami telah jalani hingga sekarang. Ujian pertama
itu adalah ujian mental tentang ke-istiqomah-an, berupa semangat yang membara,
menggebu – gebu memotivasi diri kami semua untuk saling “berkompetisi” menjadi
yang terbaik di antara yang paling baik pada saat itu, memang tidak sulit juga
tidak mudah untuk menjaga semangat ini untuk tetap pada ke-istiqomah-annya,
tetapi kenyataannya mungkin diriku adalah salah satu diantara yang merasa mudah
namun akhirnya gagal dalam melaksanakan ujian mental menjaga ke-istiqomah-an
ini, semangat yang membara itu hanya bertahan beberapa waktu saja, tetapi, ya
setidaknya dengan redupnya semangat itu menjadi sinyal munculnya kesadaran
dalam diri untuk memperbaiki yang salah dalam proses menjaga ke-istiqomah-an
itu. Untungnya juga pada persoalan ini para Pembina sudah mengetahuinya jauh –
jauh hari, sehingga solusinya pada hampir setiap minggu kami semua dipertemukan
dan dikolaborasikan dengan tokoh – tokoh yang senantiasa istiqomah memberikan
inspirasi, motivasi, semangat dan bahan baku untuk membangun kesadaran pribadi
tentang ke-istiqomah-an dalam diri supaya dapat selalu serius menjadi yang terbaik
dalam “kompetisi” kebaikan.
Selesai satu
persoalan, kami kembali dihadapkan dengan persoalan lainnya. Persoalan
selanjutnya ini muncul karena tidak saling menerimanya kami sebagai masing –
masing individu yang unik, semua saling beradu pendapat berkompetisi dengan
logika dan sudut pandanganya merasa paling baik dan benar, namun di setiap
akhir sesi silang sengketa argument itu seolah kami semua saling menerima, pada
kenyataannya tidak begitu, dibalik itu ada beberapa diantara kami yang
membentuk kubu – kubu untuk tetap menjadi oposisi, menolak dengan perbuatan,
perkataan atau sekedar menolak dengan hati (baca: pundung).
Ujian kali ini adalah ujian tentang kerjasama tim, dimana simulasi
untuk memecahkan persoalan besar bangsa seolah masuk kedalam proses pembinaan
kami kali ini, pada kondisi ini keseriusan mulai dibangun, dimulai saat kami
mendapat teguran atas keteledoran kami sesaat saat sedang sesi coaching leader
and leadership oleh salah satu funding father rumah kepemimpinan (dulunya
PPSDMS). Puncak persoalan terjadi ketika kami mulai berhadapan dengan waktu
yang semakin singkat untuk sebuah proyek pengkolaborasian visualisasi mimpi –
mimpi besar kami. Pada saat itu suasana saling tidak menerima atau beradu argument,
sehingga terjadi kekacauan yang mengakibatkan “gagal”nya proyek pertama di
waktu pertama. Hingga saat muncul beberapa sosok mahluk yang ke-istiqomah-annya
memaksa kami semua untuk serius mengerjakan proyek tersebut, tentu kalaulah
bukan karena kehendak Allah sehingga keterpaksaan keterbukaan diantara kami
semua muncul dan menggerakan kami untuk mulai serius bekerja mana mungkin
proyek pertama di waktu yang kedua ini akan berhasil dan mungkin kami merasa
bahwa proyek kami menjadi salah satu yang terbaik diantara yang paling baik.
Sehingga pada akhirnya kami semua kembali menemukan secarik lembaran – lembaran
hikmah untuk selalu komunikatif, optimis dan saling meberdayakan satu sama lain
diantara kami dalam membangun kerja sama tim yang baik, tentu dengan
professional dan tingkat keseriusannya.
Skenoario-Nya
Hujan badai pun berlalu diiringi senyum pelangi dan bisikan
kesejukan alam yang mampir membelai jasad ini. Sajak tersebut menjadi sinyal
bagi akan datangnya persoalan lain yang lebih menantang, tetapi kali ini tidak
semua dari kami merasakan persoalan yang sama kembali, karena proses pembinaan
yang kebetulan sesuai dengan takdir-Nya kali ini mungkin memang sudah di
skenariokan untuk masing – masing individu.
Giliranku sedikit berceloteh tentang ujian yang selanjutnya datang
menghampiri. Saat itu waktu ujian tengah semester kampus berlalu begitu saja,
artinya hanya tinggal beberapa pekan kemudian ujian akhir semester akan datang.
Hal itu sudah menjadi rutinitas tiap semester, selanjutnya menjadi evaluasi
pada tiap akhir dan awal semesternya, namun pada saat itu keseharian aktivitas
kampusku adalah menjadi seorang pembantu di beberapa organisasi intra dan
ekstra kampus, sesuatu yang tidak biasa bagi mahasiswa pada umumnya, kondisi
tersebut sangat menuntutku untuk melakukan mobilitas tinggi. Satu hal yang
menjadi penting bagiku saat itu, adalah kesiapan mental dan keteguhan iman,
ekspektasi dan optimisme sedemikian rupa di suasana-kondisikan untuk tetap
stabil menjaga mental dan iman, atau sebut saja berusaha istiqomah dalam setiap
aktivitas kebaikan. Tetapi dalam perjalanannya, semua itu menjadi cambuk yang
kemudian mengingatkanku untuk selalu dalam kondisi bertaqwa kepada Allah SWT.
Baik saat susah maupun senang. Pada saat itu kondisi suasana sangat terbalik
dengan ekspektasi dan optimisme yang telah dibangun, ruhiyah, keluarga,
finansial, teman (pun yang sekamar) dan hampir seluruh sumber daya mencapai
titik batasnya untuk membantu. Su’udzon dan pesimisme menyelimuti seluruh fikr
dan gerak, hanya gerutu – gerutu keputus asaan yang mulai membuat stress dan
melesukan jasad ini. Hingga puncaknya pada saat waktu persiapan dua minggu
sebelum ujian akhir semester dimulai, diri ini merasakan kejenuhan yang begitu
dalam, akibat akumulasi persoalan fikr yang tiada habisnya, sampai – sampai
membuat rasa percaya diri ini hilang dan rasa bersalah muncul begitu hebat.
Pada saat yang bersamaan ketika itu seruan aksi super damai 212 di
umumkan oleh segenap muslim dipenjuru Indonesia, juga tekad para pejalan kaki
yang melakukan long march dari Ciamis untuk sampai ke Jakarta membuat
hati ini tergerak untuk mengakhiri kelesuan iman yang begitu hebat dengan
memaksakan turut serta mengikuti aksi super damai 212 di lapangan monument
Nasional bersama beberapa kawan yang mungkin sebenarnya mereka juga termasuk
kedalam orang – orang yang ikut mendukung kelusuan iman yang begitu hebat ini
terjadi.
Sampai saat tiba – tiba tersadarkan beberapa waktu sebelum sholat
jum’at yang paling bersejarah bagi umat muslim Indonesia itu, bahwa ini adalah
ujian daripada mimpi – mimpi besar yang pernah direncanakan hingga dimainkan
dalam skenario visualisasi mimpi, sehingga perlu lah kesiapan mental dan
keteguhan iman untuk mewujudkan mimpi – mimpi besar itu, dimana perlu adanya
keselarasan antara takdir Allah dan mimpi besar kita seperti para sahabat yang
teguh keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. memvisualisasikan mimpinya
untuk syahid di jalannya.
Kesadaran itu muncul semakin kuat setelah acara 212 ada undangan
yang sampai ke emailku bahwa diriku terdaftar untuk mengikuti sebuah acara wisuda
(berhasil lolos seleksi disetiap acaranya) dan puncak seminar sekolah pemimpin
negarawan untuk para aktivis asal daerah yang mana menghadirkan pemateri –
pemateri ahli untuk mengungkap fakta bagaimana kondisi bangsa ini sekarang,
lalu apa yang seharusnya dilakukan oleh para aktivis asal daerah yang kini
sedang menuntut ilmu di kampus – kampus besar. Pada saat itu benar – benar
terasa nikmat karunia, kasih sayang dan hidayah-Nya datang kepada seluruh
segenap peserta acara tersebut, termasuk diriku didalamnya dan merasa sangat
bersyukur akan moment yang mungkin tidak akan terulang untuk ketiga kalinya
setelah NLC dan acara yang satu ini.
Para ahli itu diantaranya adalah, pengamat politik internasional
dengan karya monumentalnya buku kebangkitan pos-islamisme AKP turki Ustadz
Ahmad Dzakirin, seorang Doktor dan Wakil DPR RI yang kini menjadi Presiden
salah satu partai islam Ustadz Muhammad Shohibul Iman, Walikota Kota Kreatif
Ustadz Ridwan Kamil dan beberapa lainnya yang mana mereka semua mengupas tuntas
fakta dibutuhkannya pemuda – pemuda muslim intelektual yang mumpuni secara
structural dan kultural untuk membangun bangsa yang besar ini.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah sebuah pesan, bahwa untuk
kembali memulai melanjutkan perjalanan besar perlulah persiapan – persiapan yang
harus selalu diperbaharui, seperti kondisi iman yang selalu dalam ketaqwa-an,
suasana tim dengan komunikasi baiknya, solidaritas kepekaan sosial dari para
pembentuknya juga professional dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab
apalagi di awal tahun yang baru ini, memang sejatinya sebagai seorang muslim
dan mu’min yang baik tak perlu sebenarnya menunggu tahun baru untuk sebuah
perubahan besar atau sekedar melanjutkan perlajanan besarnya, tetapi mengapa
tidak momentum pergantian tahun baru ini menjadi sarana untuk tidak sekadar
hanya resolusi – resolusi belaka, melainkan turut pula kontribusi – kontribusi
yang melahirkan prestasi – prestasi untuk menyelesaikan reformasi yang belum
tuntas ini.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas” (QS 18:28)
Wallahu a’lam bishowab
Komentar
Posting Komentar